Kata Pengantar
Puji
syukur yang dalam saya sampaikan kehadirat Allah Yang Maha Esa lagi Maha
Penyayang, karena berkah dan kemurahannya makalah ini dapat saya selesaikan
sesuai yang di harapkan. Dengan Tema “PEMBENTUKAN AL-QURAN” dengan itu upaya saya
untuk memenuhi tugas Qura’an Hadist yang di ajukan untuk memenuhi salah satu
tugas UTS, demikian pula makalah ini akan memerlukan revisi berdasarkan kritik
maupun saran dari Dosen Pembimbing.
Untuk
itu, saya berharap kritik dan saran yang membangun dari Ibu. Dedeh Kurniasar.
Selaku Dosen Mata Kuliah Qura’an Hadist.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat .
Terima
kasih,
Bandung,
29 Oktober 2013
Penyusun,
Sejarah
Pembukuan AL-quran
Al-quran
menurut bahasa ialah himpunan, bagian
dari kalam Allah (perkataan allah /
firman allah).
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam
kemuliaan.Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih
baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat
Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadar: 1-5)
Sebenarnya sebelum diturunkan ke muka bumi, Al-Quran adalah kitab
yang sudah jadi dan eksis sebelumnya. Para ulama menjelaskan bahwa paling tidak
Al-Quran mengalami dua kali masa turun. Pertama, turun dari Lauh al-Mahfudz ke
langit dunia. Ini terjadi pada Lailatul Qadar, sebagaimana firman Allah SWT dalam
QS Al-Qadar: 1-5. Dalam proses turun yang pertama ini, Al-Quran turun
sekaligus, tidak sepotong-sepotong. Kedua, turun dari langit dunia kepada
Rasulullah SAW dengan berangsur-angsur. Selama masa 23 tahun lebih beliau SAW
secara rutin menerima turunnya ayat Al-Quran.
Berbeda dengan proses pertama yang turun sekaligus, pada kali yang
kedua ini, Al-Quran diturunkan secara acak dan sepotong-sepotong. Tidak urut
dari Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa' dan seterusnya hingga An-Naas,
tetapi diturunkan berdasarkan kebutuhan. Hanya yang perlu dicatat, pada setiap
potongan ayat turun, Rasulullah SAW selalu memberikan penjelasan bahwa posisi
ayat itu di dalam Al-Quran adalah para surat tertentu, bahkan sampai keterangan
urutannya pada sebelum ayat apa dan sesudah ayat apa.
Ayat-ayat yang turun ke bumi disusun sesuai dengan Al-Quran yang
asli di Lauhil Mahfuz dan di langit pertama. Jibril menurunkannya satu per satu
sesuai dengan perintah Allah, namun sambil membawa juga kode-kode alamat tiap
ayat itu. Sehingga ketika dikumpulkan, otomatis dengan mudah bisa tersusun lagi
seperti versi yang masih ada di langit.
Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Quran menurut pendapat Ulama,
ada dua pengertian [1].
Arti Pertama, mengumpulkan dengan arti menghafal. Pengertian in yang
terdapat pada firman Tuhan dalam Al-Quran dalam khitabnya kepada Nabi. Dialah
yang menggerakkan bibir dan lidah Nabi SAW untuk membaca Al-Quran apabila ada
ayat yang diturunkan kepada nabi belum lagi selesai Jibril membacakan wahyu,
maka nabi sudah ingin sekali hendak menghafalnya. Allah berfirman dalam
Al-quran ;
“Janganlah kamu gerakan lidahmu (untuk membaca) Al-quran karena
hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggung Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai membacanya)” (QS Al-Qiyamah ; 16-19)
Kata Ibnu Abbas di waktu Rasulullah menerima wahyu, dia
menggerak-gerakkan lidah dan bibirnya karena takut akan lupa. Maksud
menggerakkan bibir ialah menghafalnya. Maka turunlah QS Qiyamah ayat 16-19
tersebut. Pada lafadz lain dikatakan bahwa Kami akan membacakan padanya apabila
Al-quran itu dibacakan oleh Jibril kepada nabi, maka nabi berdiam diri tidak
berbicara.
Arti Kedua, mengumpulkan
Al-quran berarti menuliskannya Al-quran itu secara keseluruhannya.
Pembukuan Al-qur’an melalui
beberapa periode mulai dari Periode Nabi Muhammad SAW - Periode Ustman Bin Affan.[2]
1. Periode Nabi Muhammad SAW
Alqur’an
merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada rasulullah secara
mutawatir (periwayatan) pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah
menghafalkan secara pribadi. Nabi juga memberikan pengajaran kepada
sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan, ketika wahyu turun Rasulullah
menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid
merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka
dengan sendirinya menulis teks Al-qur’an untuk di milikinya sendiri diantara
sahabat tadi , para sahabat selalu menyodorkan al-Qur’an kepada Nabi dalam bentuk
hafalan dan tulisan-tulisan. Pada masa rasullah untuk menulis teks al-Qur’an
sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah
kurma,lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun
al-qur’an sudah tertuliskan pada masa rasulullah tapi al-qur’an masih
berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf (tulisan),
Pada
saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam didalam dada para
sahat dan penulisan teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak
dibukukan didalam satu mushaf di karenakan rasulullah masih menunggu wahyu yang
akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh
oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa
rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada
ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.
2. Periode Abu Bakar r.a
Ketika
rasullulah wafat dan kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari
kalangan orang islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa
kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan
perang Yamamah (12 H),yang menewaskan sekitar 70 para Qori’dan Hufadz. dari
sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan
tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu
menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu
mushaf (tulisan), pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak
dilakukan pada masa rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk
melestarikan Al-Qur’an umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi allah ini adalah
baik” dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar
menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit . Pada awalnya Zaid bin
Tsabit menolaknya dikarenakan pembukuan Al-Qur’an tidak pernah dilakukan pada
masa rasulullah sebagaimna Abu Bakar menolaknya. Zaid bin Tsabit dengan
kecerdasannya mengumpulkan Al-Qur’an dengan berpegang teguh terhadap para Hufadz
yang masih tersisa dan tulisan-tulisan yang tadinya ditulis oleh Zaid atas
perintah rasullullah. Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena
al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan
hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat.
Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.
3. Periode Umar Bin Khattab
Pada
masa masa Umar Bin Khattab tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun
tentang Al-Qur’an karena al-Qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak
ada perselisihan dari kalangan sahabat dan para tabi’in. dimasa kekhalifaan
umar lebih konsen terhadap perluasan wilayah, sehingga ia wafat. Yang
selanjutnya kekhalifaan jatuh ketangan Ustman bin Affan.
4. Periode Ustman Bin Affan
Semakin
banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah
pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan
perbedaan tentang Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing
suku mengklaim Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut
terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada
Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing.
Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia
bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang
Qiro’ah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya
perbedaan qiro’ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk
segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi
perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang
terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan
antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah
(panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin
Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Ustman
Bin Affan memerintahkan kepada Zaid untuk mengambil Mushaf (tulisan) yang
berada dirumah Hafsah dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek yakni dialek
Qurays, mushaf yang asli dikembalikan lagi ke hafsah. Ustman Bin Affan menyuruh
Zaid untuk memperbanyak mushaf yang diperbaruhi menjadi 6 mushaf, yang lima
dikirimkan kewilayah islam seperti Mekkah, Kuffah, Basrah dan Suria, yang satu
tersisa disimpan sendiri oleh Ustaman dirumahnya. Mushaf ini dinamai Al-Imam
yang lebih dikenal mushaf Ustmani, demikian terbentuknya mushaf (tulisan) ustmani
dikarenakan adanya pembaruan mushaf pada masa ustmani.
Pengumpulan Al-qur’an
Di kalangan ulama, terminologi
pengumpulan Al-qur’an (Jam’ Al-quran) memiliki dua konotasi: konotasi
penghapalan Al-quran dan konotasi penulisannya secara keseluruhan.
Ø Proses
Penghapalan Al-quran
Kedatangan
wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi. Oleh karena itu, begitu wahyu datang,
Nabi langsung menghapal dan memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang
yang paling pertama menghapal Al-quran. Tinndakan Nabi itu sekaligus menjadi
suri taladan yang diikuti para sahabatnya. Imam Al-Bukharimencatat sekitar
tujuh orang sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan Al-quran ny. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim
bin Mi’qal (maula’-nya Abu Hudzaifah), Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit, Abu Zaid bin As-Sakan, dan Abu ad-Darda’. [3]
Penyebutan
ketujuh sahabat itu kaitannya dengan penghapalan Al-quran terkesan tidak
rasional dan tidak realistis, mengingat selain ketujuh sahabat itu, tercatat
pula sahabat-sahabat lain yang ikut serta menghapalkan Al-quran termasuk ketika
nabi masih ada. Bahkan ada di kalangan
sahabat wanita yang juga tercatat sebagai penghapal Al-quran, seperti Aisyah,
Hafshah, Ummu Salah,dan Ummu Waraqah.[4]
Ø Proses
Penulisan Al-quran
Pada masa nabi kedatangan wahyu tidak
saja diekspresikan dalam bentuk hapalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi
memiliki sekretaris terendiri yang khusus bertugas mencatat wahyu-wahyu yang di
turunkan oleh Allah S.W.T. Mereka adalah
Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin
al-Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-quran sangat
sederhana. Mereka menggunakan alat tulis
sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.[5]
Kegiatan
tuli-menulis Al-quran pada masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris
Nabi, juga di lakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu di dasarkan kepada
sebuah hadis Nabi, sebagaimana yang telah di riwayatkan oleh Muslim.
“Janganlah
kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-quran. Barang siapa yang
telah menulis dariku selain Al-quran, hendaklah ia menghapusnya”. (H.R. Muslim)
Di
antara faktor yang mendorong penulisan Al-quran pada masa Nabi adalah:[6]
I.
Mem-beck up hapalan yang telah di lakukan
oleh Nabi dan para sahabatnya,
II.
Mempresentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hapalan para
sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupaatau sebagian dari mereka
sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi,
Al-quran tidak di ulis di tempat tertentu.
Uraian
di atas memperlihatkan bahwa karakteristik penulisan Al-quran pada masa Nabi
adalah bahwa Al-quran ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat
yang terpisah-pisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alas an berikut. [7]
a. Proses
penuruna Al-quran masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun
belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun
terdahulu
b. Menertibkan
ayat dan surat-surat Al-quran tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi
bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu
surat dengan surat yang lain. Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang
turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun
terlebih dahulu.
Pada
masa Abu bakar Ash-Shiddiq pada dasarnya seluruh Al-quran sudah ditulis pada
waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya
ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam
satu mushaf (tulisan) adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, Abu ‘Abdillah Al- Muhasibi6 berkata
di dalam kitabnya, Fahm As-Sunan, “Penulisan Al-quran bukanlah sesuatu yang
baru. Sebab, Rasulullah pernah memerintahkannya. Hanya saj, saat itu tulisan
Al-quran berpencar-pencar pada pelepah
kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu bakar
kemudian berinisiatif menghimpun semuanya”
Usaha
pengumpulan tulisan Al-quran yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah perang
Yamamah pada tahun 12 Hijriah. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para
pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu telah menjadikan
700 orang sahabat penghapal Al-quran syahid. Khawatir akan semakin hilangnya
para penghapal Al-quran, sehingga kelestarian Al-quran juga ikut terancam,
‘Umar datang menemui Khalifah pertama, Abu Bakar agar segera meninstuksikan
pegumpulan Al-quran dari berbagai sumber, baik yang tersimpan di dalam hapalan
maupun tulisan.
Zaid bin Tsabit, salah seorang
sekertaris Nabi, berdasarkan riwayat Al-Bukhari (kitab “Fadh’ il Al-quran”,
mengisahkan bahwa setelah peristiwa berdarah yang menimpa sekitar 700 orang
penghapal Al-quran, Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan
itu ‘Umar bin Al-Khathathab. Abu Bakar membuka pertemuan itu ‘Umar bin
Al-Khaththab. Abu Bakar membuka pertemuan itu dengan mengatakan, “ Umar telah
mendatangiku dan meminta korban sejumlah qari’
Al-Qur’an. Aku khawatir hal ini meluar kepada para penduduk. Kalau demikian,
akan banyak penghafal Al-Qur’an yang hilang. Aku memandang perlunya
penghimpunan Al-Qur’an. “
Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid bin Tsabit
mengajukan keberatanya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan
datang darinya, “ bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan
Rasulullah ?” lalu Umar menjawab, “ Demi Allah ini sesuatu yang baik “. Dan
ketikan Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati
Zaid tentang perlunya perhimpunan Al-Qur’an.
Kemudian Abu Bakar berkatan kepada Zaid,” Kau adalah
seorang lelaki yang masih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu ( cacat mental
). Dahulu kau menulis wahyu untuk Rasulullah. ( sekarang ), lacaklah Al –
Qur’an.”
Bagi Zaid tugas yang dipercayakan khalifah Abu Bakar
kepadanya bukan hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dari kalimat yang
terlontar dari mulutnya di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, “ Demi
Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu
tidak lebih berat dari pada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk menghimpun
Al-Qur’an.”
Dalam
melaksakan tugasnya, Zaid menetapkan kriterian yang tepat untuk setiap ayat
yang di kumpulkanya. Ia tifak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan,
tanpa di dukung tulisan. Kehati-hatianya di perlihatkan oleh ucapanya
sebagaimana tertuang pada akhir hadits yang diriwayatkan Al-Bukhori diatas, “
Hingga aku temukan akhir surat At – Taubah, pada tangan Abu Khuzaimah Al –
Anshari.” Ungkapkanya itu tidak menunjukan bahwa akhir surat At-Taubah, itu
tidak Mutawattir, tetapi lebih menunjukan bahwa hanya Abu Khuzaimah Al –
Anshari yang menulisnya. Zaid dan sahabat – sahabatnya juga menghafalnya,
tetapi tidak memiliki tulisanya.
Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al –
Qur’an sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar
berkata “ Duduklah kalian di pintu masjid.
Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an dengan dua
saksi, maka catatlah.”
Di dalam menerangkan “ dua saksi” riwayat ini perlu di
simak pendapat Ibn Hajjar. Menurut tokoh hadits penamaan ini, Syahidain ( dua saksi ) disini keduanya
tidak harus dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat
tertentu yang membawa ayat tertentu dapat di terima bila ayat di sodorkan
didukung dua hafalan dan atau tulisan sahabt lainya. Demikian juga, suatu hafalan
ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa di terima bila
kuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabt lainya.
Pemahaman Ibn Hajjar tentang Syahidain sedikit berbeda dengan apa di tangkap As – Sakhawi (
W.643 H. )[8]
Asy – Syakhawi memandang bahwa Syahidain artinya
catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang di sodorkan
sahabt dapat diterima jika memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa
catatan itu memang ditulis dihadapan Nabi.
Pekerjaan yang dibebankan kepundak Zaid dapat
diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H.
dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para tokoh sabahat lainya. Ketiga tokoh
yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al – Qur’an pada masa Abu Bakar,
yakni Abu Bakar, Umar, dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. Umar
yang terkenal dengan trobosan-trobosan jitunya menjadi pencetus Ide. Ini
tetntunya punya arti tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar
karena ia dipercaya menghimpun kitab suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran,
kecermatan, ketelitian, dan kerja keran. Khalifah Abu Bakar sebagai decision maker menduduki porsi
tersendiri. Tak berlebihan bila Ali bin Abi Thalib memujinya dengan mengatakan,
“ Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia orang yang pertama kali (
mengabil keputusan ) mengumpulkan kitab Allah”. ( Az-Zarkasyi, t.t,I:239 ).
Setelah
sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al – Qur’an yang sudah
terkumpul itu dinamakan “Mushaf”, sebagaimana disebutkan Ibnu Asytah didalam
kitab Al-Mashahif yang didasarkan
pada riwayat yang sampai kepadanya melalui jalan Musa bin ‘Aqabah dari Ibnu
Syihab: “ setelah Al – Qur’an terkumpul, mereka menuliskanya diatas kertas. Abu
Bakar berkata, ‘carilah nama Al-Qur’an yang sudah ditulis ini’. Sebagian
sahabat mengusulkan nama ‘As-Sifr’. Abu Bakar berkata, ‘itu nama yang diberikan
oleh orang-orang yahudi’. Merekapun tidak menyukai nama itu. Sebagian sahabat
yang lainya mengushulkan nama “Al-Mushaf” karena orang – orang habsyi memakai
nama itu. Mereka pun akhirnya sepakat dengan nama itu”.
Setelah
Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-quran itu di simpan khalifah Umar dan Umar
wafat, mushaf itu di simpan hafsah, bukan oleh Utsman bin Affan sebagai
khalifah yang menggantikan Umar. Timbul pertanyaan, “mengapa mushaf itu di
serahkan kepada khalifah setelah Umar?” Pertanyaan itu logis. Hanya Umar,
menurut zarzur, mempunyai pertimbangan lain, yaitu bahwa sebelum wafat, Umar
memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah
seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan Mushaf
yang ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu, ia khawatir
hal tersebut di interpretasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang
mushaf. Padahal, Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada enam sahabat
itu, untuk memilih diantara mereka yang layak menjadi khalifa, ia menyerahkan
mushaf itu kepada heafsah yang lebih dari layak memegang musfah yang sangat
bernilai. Telebih lagi, ia adalah istri nabi dan sudah menghafal Al-quran
secara keseluruhannya.
Pada
masa Utsman bin Affan, penjelasan secara tradisional berupa Hadist Nabi yang
diriwayatkan Al-Bukhori, tentang alasan yang menyebabkan di ambil langkah
selanjutnya dalanm menetapkan bentuk Al-quran, menyiratkan bawa
perbeedaan-perbedaan serius dalam qiro’at (cara membaca) Al-quran terdapat
dalam salinan-salinan Al-quran yang ada pada masa Utsman bin Affan di berbagai
wilayah. Dikisahkan kepada kita bahwa selama pengiriman ekspedisdan militer ke Armenia da Azzerpaijan,
persilisihan tentang bacaan Al-quran muncul di kalangan tentara-tentara muslim,
yang sebagiannya direkrut dari Siria dan sebagian lagi di Irak. Perselisihan
inicukup serius hingga menyebabkan pimpinan-pimpinan tentara muslim, Hudzaifah,
melaporkannya kepada kholifa Utsman (644-656) dan mendesaknya agar mengambil
langkah-langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut. Kholifa
lalu berembuk dengan para sahabat senior Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin
Tsabit “mengumpulkan” Al-quran . bersama Zaid, ikut bergabung Tiga anggota keluarga
Mekah terpandang: ‘Abdulloh bin Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abd Ar-Rohman bin
Al-Harits.
Satu
prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus
kesulitan bacaan, dialek Quraisy- suku dari mana Nabi berasal- harus dijadikan
pilihan. Keseluruhan Al-quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf
yang berada di tangan hafsah, serta di kembalikan kepadanya ketika resensi
Al-quran selesai digarap.
Dengan demikian, suatu naskah otoritatif (abash)
Al-quran, yang sering juga di sebut Mushaf ‘Utsmani, telah di tetapkan.
Sejumlah salinannya dibuat dan di bagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam.
Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang
diemban oleh Zaid bin Tsabit sebagai berikut:
§ Tidak menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali
telah diyakini bahwa itu adaalah ayat Al-quran yang dibaca Nabi pada
pemeriksaan Jibril dan tilawah-nya
tidak mansukh.
§ Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-quran,
tulisan mushaf bebas dari titik dan syakal.
§ Lafazh yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan
lafazh yang dibaca dengan lebih satu qira’at ditulis dengan rasm yang berbeda pada tiap-tipa mushaf.
§ Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa, ditetapkan
bahasa Quraisy yang digunakan karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa tersebut.
Inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-quran tampaknya
sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara
membaca Al-quran pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat
Islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan di antara
mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-quran ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan
perang Islam yang datang dari Irak dan Syiria. Sementara mereka yang datang
dari Syam (syiria) mengikuti qira’at Ubai bin Ka;ab, mereka yang berasal dari
Irak membacanya sesuai dengan qira;at Ibn Mas;ud. Tak jarang pula, di antara
mereka yang mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Masing-masing pihak merasa
bahwa qira’at yang dimilikinya lebih baik.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf
yang memenuhi persyaratan berikut :
a.
Harus
terbukti mutawir, tidak di tulis berdasarkan riwayat ahad[9]
b.
Mengabaikan
ayat yangbacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini di baca kembali di
hadapan Nabi pada saat-saat terakhir
c.
Kronologi
surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu
Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman
d.
Sistem
penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai
dengan lafadz-lafadz Al-quran ketika turun
e.
Semua
yang bukan termasuk Al-quran dihilangkan. Contohnya,yang ditulis di mushaf
sebagian sahabat yang mereka juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansuk
[10]di
dalam mushaf.
Pada Masa Abu Bakar
|
Pada Masa ‘Utsman bin Affan
|
1.
Motivasi
penulisnya adalah khawatir sirnanya Al-quran dengan syahidnya beberapa
penghapal Al-quran pada Perang Yamamah
|
1.
Motivasi
penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca
Al-quran (qira’at)
|
2.
Abu
Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-quran yang
terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang dan sebagainya.
|
2.
‘Utsman
melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf
dari tujuh huruf yang dengannya Al-quran turun7
|
Penyempurnaan Penulisan Al-quran setalah Masa Khalifah[11]
Mushaf yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat
dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh.
Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca
mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malk
(685-705), ketidak memadainya mushaf in telah dimaklumi para sarjana muslim
terkemuka saat itu dan karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad
(w. 89 H). adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah,
tasydid, Al-raum, dan al-isymam adalah Al-Khalil bin Ahmad
Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H.)
Upaya penulisan
Al-quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan
generadi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-Wahid (memerintah dari tahun
86-96 H). memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hayyaj yang terkenal keindahan
tulisannya untuk menulis mushaf Al-quran.
Penerbitan Al-quran dengan label Islam baru dimlai pada tahun 1787.
Yang menerbitkannya adalah Maulaya ‘Utsman. Dan mushaf cetakan itu lahir di
Saint-Patersbourg, Rusia, atau Leningrad, Uni Soviet sekarang. Lahir lagi
kemudian, mushaf cetakan di kazan. Kemudian terbit lagi di Iran. Tahun 1248
H/1828 M, negeri Persia ini menerbitkan mushaf cetakan di kota Teheran. Lima
tahun kemudian, yskni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz. Setelah
dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf
cetakan di Leipzig, Jerman.
Di negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus
penerbitan Al-quran di perempatan pertama abad XX. Panitia yang di motori para
syekh Al-Azhar i ni pada tahun 1342 H/ 1923 M. Berhasil menerbitkan mushaf
Al-quran cetakan yang bagus. Mushaf ysng pertama di terbitkan di Negara Arab
ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah atau qira’at ‘Ashim. Sejak itu,
berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan diberbagai Negara.
Hikmah Diwahyukannya Al-Quran secara Berangsur-angsur
Al-quran di turunkan dalam tempo 22 tahun 2
bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi,
sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari dari kelahiran Nabi atau tahun 10
H[12].
Proses turunnya
Al-quran kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah melalui tiga tahapan, yaitu[13]
Pertama, Al-quran turun secara sekaligus dari Allah SAW ke lauh
al-mahfush[14],
yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan
kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S Al-Buruj (85) ayat
21-22 :
“Bahkan yang di dustakan mereka ialah Al-quran yang mulia. Yang
(tersimpan) dalam lauh al-mahfudz”. (Q.S Al-Buruj: 21-22)
Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat Al-Waqi’ah (56) ayat
77-80 :
“sesungguhnya Al-quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada
kkitab yang terpelihara (lauh mahfudz), tidak menyentuhnya, kecuali hamba-hamba
yang di sucikan. Diturukna dari Tuhan semesta alam” (Q.S Al-Waqi’ah: 77-80)
Kedua,
Al-quran diturunkan dari lauh al-mahfudz itu ke bait al-izzah
(tempat yang berada di langit dunia). Proses kedua ini diisyarakan Allah dalam
surat Al-Qadar [97] ayat 1:
“sesungguhnya
kami telah menurunkannya (Al-quran) pada malam kemulian”. (Q.S Al-Qadar :1)
Ketiga, Al-quran diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati
Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Ada kalanya satu
ayat, dua ayat, dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun
dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S Asy-Syu’ara’ [26] ayat 193-195:
“Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang member
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” (Q.S Asy-Syuara : 193-195)
Al-quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat
Jibril tidak secara sekaligus melainkan kebutuhan Nabi/ kebingungan untuk menyelesaikan masalah/
kejadian sulit yang di hadapi .
Dalam Kenyataan
tersebut terkandung hikah dan faedah yang besar sebagaimana dijjelaskan dalam
Al0quran surat Al-Furqan [25] ayat 32:[15]
“Berkatalah orang-orang yang kafir, ‘Mengapa Al-quran itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?’; Demikianlah supaya Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)”.
(Q.S Al-Furqan:32)
Di samping hikmah yang yang telah diisyaratkan ayat di atas, masih
banyak hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya Al-quran secara
berangsur-angsur, diantara lain sebagai berikut :[16]
a)
Menetapkan
hati Nabi
Ketika menyampaikan dakwah, Nabi sering berhadapan dengan para
penentang. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan dorongan
tersendiri bagi Nabiuntuk terus menyampaikna dakwah.
b)
Menentang
dan melemahkan para penentang Al-quran
Nabi sring berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang
dilontarkan orang-orang musyik dengan tujuan melemahkan Nabi. Turunnya wahyu yang
berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang
mereka untuk membuat sesuatu yang sepurna dengan Al-quran. Dan ketika mereka
tidak mampu memenuhi tantangan ittu, hal itu sekaligus merupakan salah satu
mukjizat Al-quran.
c)
Memudahkan
untuk dihapal dan dipahami
Al-quran pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi,
yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya
wahyu secara berangsur-angsur memudahkan ereka untuk memahami dan menghapalnya.
d)
Mengikuti
setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-quran turun) dan melakukan
penahapan dalam penetapan syari’at
e)
Membuktikan
dengan pasti bahwa Al-quran turun dari Allah Yang Maha Bijaksana
Walaupun Al-quran turun secara berangsur-angsur dalam tempo 22
tahun 2 bulan 22 hari, secara keseluruhan, terdapat keserasian di antara satu
bagian dengan bagian Al-quran lainnya.
Fungsi Sebab Nuzul Ayat Kaitannya Dengan Memahani Hukum
Fungsi Sebab Ilmu Sebab Nuzul Qur’an dijelaskan secara rinci oleh
Imam Al-Zarqani sebagai berikut:[17]
1.
Dapat
mengetahui rahasia dan tujuan Allah dalam mensyari’atkan agamanya melalui
Al-Quran, yang mengandung Kemaslahatan bagi manusia pada umumnya.
2.
Dapat
membantu dalam memahami kandungan suatu ayat serta menghindari kesulitan.
3.
Dapat
menolak asumsi adanya pembatasan makna suatu ayat (al-hashr)
4.
Dapat
membatasi ketetapan suatu hokum menurut sebabnya saja, yakni suatu hokum
berlaku bagi yang bersangkutan dengan sebab-sebab yang menyertainya.
5.
Dapat
mengetahui bahwa sebab turun suatu ayat tak akan keluar dari hokum yang di
kandungnya sekalipun ada hokum yang mengkhususkannya.
6.
Dengan
Ilmu Sebab Nuzul Quran dapat diketahui tentang person-person yang berkenan
dengan turunnya suatu sebab.
7.
Mengetahui
asbab al-nuzul dapat mempermudah seseorang menghapal Al-quran.
Kesimpulan
Pada masa rasulullah Al-Qur’an hanya berupa hafalan-hafalan yang
berada benak dada para sahabat dan tulisan dilempeng-lempeng batu, pelepah
kurma dan dikeping-keping tulang, pada masa itu
Al-Qur’an masih berserakan belum ada pembukuan al-Qur’an dalam satu mushaf. ,
atas usulan Umar pada Masa Abu Bakar mulailah terbentuk pembukuan Al-Qur’an,
yang dipicu oleh banyak para Qori’ dan hufadz yang gugur pada peperangan
Yamamah ( melawan orang yang murtad dari islam ), dikawatirkan Al-Qur’an akan
punah. Pada masa Umar Bin Khattab tidak terjadi permasalahan dengan Al-Qur’an,
karena pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab lebih berorientasi terhadap
perluasan wilayah. Masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya
perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan
Al-Qur’an dengan dialek Qurays, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam
yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
Daftar Pustaka
-
Ulum
Al-Quran karya Pror. Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag. penerbit Pustaka setia Bandung
-
Studi
Ulum Al-Quran oleh: Drs. H. A. Arifin, M.Ag.
-
Pembahasan
Ilmu Al-quran I – Mana-ul Quthan – Rineka Cipta
[1] Pembahasan
Ilmu Al-quran- mana’ul quthan - Rineka Cipta hal. 47
[3] .Kepiawaian
ketujuh sahabat ini dalam menghapalkan Al-quran dijelaskan oleh riwayat-riwayat
Al-Bukhari berikut ini: Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Al-‘Ash bahwa
Rasulullah bersabda, “Ambillah Al-quran dari empat orang: ‘Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz, dan Ubai bin
Ka’ab.”
[4]
Ulum Al-Quran - Syahbah, op. cit., hlm. 240.
[5]
Ulum Al-Quran- Syahbah, op. cit., hlm.
241.
[8] As-syuthi,loc.
cit. Ulum Al-Quran. Hal. 42
[9]
Ulum AL-Quran- Riwayat yang tidak sampai pada derajat mutawir
[10] Ada
sebuah riwayathadis diriwayatkan Al-Bukhari, muslim, Abu Dawud, Al-Nasa’I,
Al-Turmudzi, Ahmad, dan Ibn Jarir yang menyatakan bahwa Rasullah pernah
bersabda, : “sesungguhnya Al-quran ini diturunkan dengan menggunakan tujuh
huruf (sab’at ahruf), mak, pilihlah satu darinya.” apa yang dimaksud dengan
huruf pada riwayat itutelah menimbulkan beragampendapat di kalangan para ulama.
[11] Ulum Al-Quran,
hal. 47
[12]
HudariBik, Tarikh Al- Tasyri’ Al-Islami, terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah
Al-Qana’ah,198, hlm. 5-6.
[13] Ibid.,
hlm. 45; Subhi Ash-Shahih, Mabahits fi ‘Ulum Al-quran, Dar Al-Qalam li
Al-Malayyin, Bairut, 1998, hlm 51
[14]
Lauh Mahfuzh adalah sebuah catatan yang di dalamnya terdapat catatan mengenai
segala sesuatu yang eksis dan yang ditulis semenjak zaman azali.
[15]
Bandingkan dengan surat Al-Baqarah [2] : 281 dan surat Al-Isra’ [17] : 106
[16]
.Ulum Al-Quran –Prof.Dr.Rosihon Anwar, M.Ag.
[17]
Studi Ulum AL-Quran oleh Drs. H. A. Arifin, M. Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar